Huh,
hari ini kampus begitu menyebalkan. Teramat sangat menyebalkan! Kenapa? Karena
aku tidak bisa menjadi panitia pada seminar yang diadakan oleh fakultasku! Ini
lah aku, Marisa Dwi Dinanta. Gadis 21 tahun yang sedang menimba ilmu di
Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, di salah satu kota di
Indonesia.
Marisa
ini anak bungsu dari dua bersaudara. Tingkah polahnya masih saja seperti
anak-anak, alasannya mungkin masih diperlakukan sebagai anak-anak dirumah.
Wajar saja, Marisa ini yang usianya
paling muda dirumah. Bahkan, abangnya sendiri terkadang masih bertingkah
seperti anak-anak. Benar-benar.
Kegiatan
hari ini sebenarnya hanya ujian saja di kampus. Ujian writing skill untuk mata
kuliah English for Young Learner.
Ujiannya dilakukan dengan mempraktekan bagaimana cara ntuk mengajar Young Learner. Marisa sendiri dapat
bagian untuk mengajar anak SD kelas 3 dan 4. Ujiannya mulai jam 10. Jadi,
Marisa bisa sedikit berleha-leha dulu di rumah.
Tapi,
kenyataannya apa? Pagi-pagi mama udah cerewet bangunin aku untuk pergi ke
warung beli bumbu untuk bikin nasi goring. Lagi adem-ademnya mimpi, malah
dibangunin tiba-tiba sama mama buat pergi ke warung. Jadi bĂȘte deh kan. Hilang semua
mimpi indahku. Oke sabaaar~
Baru
mau pergi ke kampus, ternyata dosennya hari ini on time—jarang-jarang nih. Memang
sih, yang salah itu aku. Tapi kenyataannya aku udah siap sebelum jam 10.
Harusnya aku sudah bisa berangkat ke kampus jam setengah 10, tapi gara-gara
nungguin mama yang dandannya lama, terpaksa deh nunggu dulu. Mama katanya mau
minta diantar sama papa buat ke bank. Oke aku sabar lagiii~
Sampai
kampus, temanku bilang ibuknya mengancam akan menunda ujian kalau belum ada
kelompok yang tampil. Aaaaaaa aku merasa diburu waktu, lari-lari menggunakan
baju kurung yang notabene itu susah banget buat dipakai lari. Peluh bercucuran
sampai di kelas, napas ngos-ngosan dan menjadi penampil pertama pula. Pada saat
itu, kelompokku yang paling lengkap soalnya. Oke fix, aku mencoba untuk sabar
lagi.
Selesai
ujian sekitar jam setengah 12an. Kota ini terasa sangaaaaat panas. Aku yang
merupakan tipe orang yang gampang berkeringat jadi lemes pakai baju kurung.
Panas, ribet, dan susah jalan. Suasana hatipun jadi ikut-ikutan lemes. Mana laper
lagi. Urusan makan ini, urusan yang sangat urgent menurutku. Makan itu
pentiing! Makanan mana makanan.
Akhirnya
selesai makan. Bisa pulang, yeeeeee. Ups, salah. Ada rapat dulu sama dosen
drama mengenai penampilan drama kami yang akan diadakan minggu depan. Batal deh
niat pulang. Nah, disininih titik hari menyebalkan itu datang! Dosen memberi pengumuman
kepada panitia yang ikut bahwa sepulang rapat nanti ada briefing dulu di tempat pelaksanaan seminar. Waaaaa, kok teman-teman
yang lain bisa jadi panitia? Kok aku ga?
Dengan
mengumpulkansedikit demi sedikit keberanian, akhirnya ngomong sama dosen, “Ibuk,
Marisa juga ingin ikut jadi panitia dong buk? Ada yang lowong ga buk?” Dosenpun
mengernyitkan kening, ntah apa yang ada dalam pikirannya? Aku rasa ibuknya
mikir kalo aku nambah-nambah beban pikirannya saja buat cari lowongan untukku.
Huaaaaa aku kan ingin jadi panitia juga. Itu hal yang ingin aku lakukan, menghandle sebuah acara. Mengkontribusikan
diri dalam sebuah acara, mengadakan sebuah acara yang bisa dinikmati banyak
orang.
Dosenpun
akhirnya bersuara juga setelah mendiamkanku selama 10 menit. “Marisa, kita ga
butuh orang tambahan lagi. Kenapa kamu baru bilang sekarang? Kemarin ibuk
koar-koar didepan kelas, kamu kemana saja?” Aku hanya diam saja, baru ngeh kalo
ternyata si ibuk dosen sudah bilang memberikan pengumuman didepan kelas. Pokoknya
ini menyebalkan. Aku merasa ditolak, padahal aku sudah mengumpulkan keberanian
untuk bicara dan meminta.
Aku
keluar kelas dengan muka cemberut. Kesal, kesal sekali. Kapan lagikan aku bisa
jadi panitia. Aku ingin merasakannya. Aku ingin bisa mengerti semua hal tentang
kepanitian. Teman kelasku mendekatiku. Deskripsiku tentang temanku ini—Nadia—anaknya
kalem, mukanya senang dipandang, melihatnya meneduhkan hati. Jadi, ketika dia
datang, emosiku lumayan bisa dikontrol.
Nadia,
bertanya apa yang terjadi padaku? Aku ceritakan semuanya kejadian yang ada
dikelas. Bagaimana aku meminta menjadi panitia dan kemudian ditolak oleh
sidosen. Nadia mendengarkan dengan cermat, hanya tersenyum dan mengangguk-anggukan
kepala. Selesai meluapkan semua emosi, Nadia mulai berkata, “Kenapa harus sebal
karena hal itu, Ris? Tidakkah kamu
menyadari bahwa sebenarnya pointnya itu terletak dari diri kita sendiri. Lihatlah
segalanya dengan pandangan yang positif. Kamu runutkan lagi semuanya, kesalahanku adalah aku hidup tanpa
memperhatikan sekitarku. Aku selalu menganggap semua hal itu sepele, aku tidak
memperhatikan lingkunganku. Mungkin ini adalah sebuah teguran kecil untuk
memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Mulai hari ini, aku akan berusaha
untuk menjadi orang yang lebih peduli pada orang-orang disekitarku,
lingkunganku, bahkan hal-hal kecil yang tidak berkaitan dengan diriku. Aku akan
berusaha untuk memperbaiki diri ini menjadi sosok yang lebih peduli.”
Ya
ampun, apa yang diucapkan Nadia begitu mampu menyihirku. Ia mampu membuatku
terdiam dan merenung atas apa yang telah aku perbuat. Kenapa aku harus berpikir bahwa ini semua kesalahan orang lain, dan
selalu menilai diriku ini adalah sosok yang paling benar! Kalau aku piker-pikir
lagi, semua ini kesalahanku sendiri. Kenapa aku harus bersikap acuh tak
acuh ketika dosen memberikan pengumuman. Sampai akhirnya aku sendiri yang
merugikan diriku. Mulai saat ini, aku
akan memperbaiki diri ini menjadi lebih baik lagi. Pelajaranku hari ini adalah berubah menjadi sesosok pribadi yang lebih
peduli. Terimaksih atas teguran-Mu, aku bisa belajar dari pengalaman. Pengalaman adalah guru yang terbaik.