Tuesday, June 10, 2014

Selasa, 10 Juni 2014


Huh, hari ini kampus begitu menyebalkan. Teramat sangat menyebalkan! Kenapa? Karena aku tidak bisa menjadi panitia pada seminar yang diadakan oleh fakultasku! Ini lah aku, Marisa Dwi Dinanta. Gadis 21 tahun yang sedang menimba ilmu di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, di salah satu kota di Indonesia.
Marisa ini anak bungsu dari dua bersaudara. Tingkah polahnya masih saja seperti anak-anak, alasannya mungkin masih diperlakukan sebagai anak-anak dirumah. Wajar saja, Marisa ini yang  usianya paling muda dirumah. Bahkan, abangnya sendiri terkadang masih bertingkah seperti anak-anak. Benar-benar.
Kegiatan hari ini sebenarnya hanya ujian saja di kampus. Ujian writing skill untuk mata kuliah English for Young Learner. Ujiannya dilakukan dengan mempraktekan bagaimana cara ntuk mengajar Young Learner. Marisa sendiri dapat bagian untuk mengajar anak SD kelas 3 dan 4. Ujiannya mulai jam 10. Jadi, Marisa bisa sedikit berleha-leha dulu di rumah.
Tapi, kenyataannya apa? Pagi-pagi mama udah cerewet bangunin aku untuk pergi ke warung beli bumbu untuk bikin nasi goring. Lagi adem-ademnya mimpi, malah dibangunin tiba-tiba sama mama buat pergi ke warung. Jadi bĂȘte deh kan. Hilang semua mimpi indahku. Oke sabaaar~
Baru mau pergi ke kampus, ternyata dosennya hari ini on time—jarang-jarang nih. Memang sih, yang salah itu aku. Tapi kenyataannya aku udah siap sebelum jam 10. Harusnya aku sudah bisa berangkat ke kampus jam setengah 10, tapi gara-gara nungguin mama yang dandannya lama, terpaksa deh nunggu dulu. Mama katanya mau minta diantar sama papa buat ke bank. Oke aku sabar lagiii~
Sampai kampus, temanku bilang ibuknya mengancam akan menunda ujian kalau belum ada kelompok yang tampil. Aaaaaaa aku merasa diburu waktu, lari-lari menggunakan baju kurung yang notabene itu susah banget buat dipakai lari. Peluh bercucuran sampai di kelas, napas ngos-ngosan dan menjadi penampil pertama pula. Pada saat itu, kelompokku yang paling lengkap soalnya. Oke fix, aku mencoba untuk sabar lagi.
Selesai ujian sekitar jam setengah 12an. Kota ini terasa sangaaaaat panas. Aku yang merupakan tipe orang yang gampang berkeringat jadi lemes pakai baju kurung. Panas, ribet, dan susah jalan. Suasana hatipun jadi ikut-ikutan lemes. Mana laper lagi. Urusan makan ini, urusan yang sangat urgent menurutku. Makan itu pentiing! Makanan mana makanan.
Akhirnya selesai makan. Bisa pulang, yeeeeee. Ups, salah. Ada rapat dulu sama dosen drama mengenai penampilan drama kami yang akan diadakan minggu depan. Batal deh niat pulang. Nah, disininih titik hari menyebalkan itu datang! Dosen memberi pengumuman kepada panitia yang ikut bahwa sepulang rapat nanti ada briefing dulu di tempat pelaksanaan seminar. Waaaaa, kok teman-teman yang lain bisa jadi panitia? Kok aku ga?
Dengan mengumpulkansedikit demi sedikit keberanian, akhirnya ngomong sama dosen, “Ibuk, Marisa juga ingin ikut jadi panitia dong buk? Ada yang lowong ga buk?” Dosenpun mengernyitkan kening, ntah apa yang ada dalam pikirannya? Aku rasa ibuknya mikir kalo aku nambah-nambah beban pikirannya saja buat cari lowongan untukku. Huaaaaa aku kan ingin jadi panitia juga. Itu hal yang ingin aku lakukan, menghandle sebuah acara. Mengkontribusikan diri dalam sebuah acara, mengadakan sebuah acara yang bisa dinikmati banyak orang.
Dosenpun akhirnya bersuara juga setelah mendiamkanku selama 10 menit. “Marisa, kita ga butuh orang tambahan lagi. Kenapa kamu baru bilang sekarang? Kemarin ibuk koar-koar didepan kelas, kamu kemana saja?” Aku hanya diam saja, baru ngeh kalo ternyata si ibuk dosen sudah bilang memberikan pengumuman didepan kelas. Pokoknya ini menyebalkan. Aku merasa ditolak, padahal aku sudah mengumpulkan keberanian untuk bicara dan meminta.
Aku keluar kelas dengan muka cemberut. Kesal, kesal sekali. Kapan lagikan aku bisa jadi panitia. Aku ingin merasakannya. Aku ingin bisa mengerti semua hal tentang kepanitian. Teman kelasku mendekatiku. Deskripsiku tentang temanku ini—Nadia—anaknya kalem, mukanya senang dipandang, melihatnya meneduhkan hati. Jadi, ketika dia datang, emosiku lumayan bisa dikontrol.
Nadia, bertanya apa yang terjadi padaku? Aku ceritakan semuanya kejadian yang ada dikelas. Bagaimana aku meminta menjadi panitia dan kemudian ditolak oleh sidosen. Nadia mendengarkan dengan cermat, hanya tersenyum dan mengangguk-anggukan kepala. Selesai meluapkan semua emosi, Nadia mulai berkata, “Kenapa harus sebal karena hal itu, Ris? Tidakkah kamu menyadari bahwa sebenarnya pointnya itu terletak dari diri kita sendiri. Lihatlah segalanya dengan pandangan yang positif. Kamu runutkan lagi semuanya, kesalahanku adalah aku hidup tanpa memperhatikan sekitarku. Aku selalu menganggap semua hal itu sepele, aku tidak memperhatikan lingkunganku. Mungkin ini adalah sebuah teguran kecil untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Mulai hari ini, aku akan berusaha untuk menjadi orang yang lebih peduli pada orang-orang disekitarku, lingkunganku, bahkan hal-hal kecil yang tidak berkaitan dengan diriku. Aku akan berusaha untuk memperbaiki diri ini menjadi sosok yang lebih peduli.”

Ya ampun, apa yang diucapkan Nadia begitu mampu menyihirku. Ia mampu membuatku terdiam dan merenung atas apa yang telah aku perbuat. Kenapa aku harus berpikir bahwa ini semua kesalahan orang lain, dan selalu menilai diriku ini adalah sosok yang paling benar! Kalau aku piker-pikir lagi, semua ini kesalahanku sendiri. Kenapa aku harus bersikap acuh tak acuh ketika dosen memberikan pengumuman. Sampai akhirnya aku sendiri yang merugikan diriku.  Mulai saat ini, aku akan memperbaiki diri ini menjadi lebih baik lagi. Pelajaranku hari ini adalah berubah menjadi sesosok pribadi yang lebih peduli. Terimaksih atas teguran-Mu, aku bisa belajar dari pengalaman. Pengalaman adalah guru yang terbaik.