Aku rasa, kebanyakan karena program
pemerintah yang menyarankan penduduknya untuk mempunyai dua anak lebih baik,
inilah alasan kenapa orang tuaku hanya mempunyai dua anak. Ntah karena memang
ini yang ditakdirkan oleh Tuhan, ntah karena ini faktor ekonomi atau mungkin
memang karena alasan program pemerintah tadi. Jadilah saat ini aku hanya
mempunyai seorang saudara laki-laki yang jarak usia kami terpaut cukup jauh, 10
tahun. Ini juga
alasan kenapa aku tidak banyak bermain dengan kakakku. Perbedaan usia kami
jauh, gender kami berbeda, aku rasa aku hanya akan menjadi anak perempuan kecil
yang sangat banyak maunya jika ikut bermain dengan kakak. Aku hanya akan
mengacaukan permainan apa yang ingin dimainkannya. Aku suka boneka, ia suka
bola, aku suka mewarnai, ia suka bermusik. Kami jauh berbeda. Sangat berbeda.Tidak
hanya dari kesukaan, bahkan mulai dari sifatpun sangat berbeda. Kakakku tipe
orang sangat periang, aku orang yang sangat pendiam, kakakku tipe yang baik
hati, dan aku tipe yang jahatnya. Jika diibaratkan dengan sebuah panggung,
kakakku ini tipe protagonist dan aku ini lah tipe adik antagonisnya . Adik yang
selalu tidak pernah mau mengalah, adik yang selalu ingin semua kemauannya
dituruti. Menuntut orang tua dengan keinginan anak-anak yang tidak berguna dan
terkadang tidak masuk akal.
Mungkin karena inilah aku
merasa bahwa orang tuaku sangat menyayangi kakakku. Aku yang masih ingusan ini
sudah merasa seperti itu. Bahwa aku melihat dengan mataku bahwa Ibu lebih
menyayangi kakak dari pada aku. Ini itu kakak. Apa apa juga kakak. Pokoknya
semua selalu kakak. Kakak, kakak, dan kakak. Ketika aku mulai beranjak sedikit
dewasa tepatnya kelas 5 SD aku mendengarkan sebuah cerita dari Ibu—yang pada
saat itu sedang bercerita dengan sepupuku, Fitri—tentang kakak, yang sebenarnya
aku hanya ikut ikutan saja. Tidak diajak untuk ikut bercerita. Masih terlalu
kecil, mungkin itu pikir mereka. Ibu bercerita bagaimana kakak adalah cucu
pertama yang sangat disayangi oleh nenek. Yang selalu ditunggu-tunggu
kedatangannya oleh Oma, cucu kesayangan pertama, semacam itu lah. Yang
mengerikannya lagi, Oma dan Ibu sempet bertengkar memperebutkan dengan siapa
kakak akan tinggal ketika Ibu dan Ayah berencana untuk pindah ke rumah sendiri.
Wah wah bahaya juga ya pikirku pada saat itu. Oma sampai mengancam akan bunuh
diri jika Ibu masih berniat membawa kakak pergi. Semakin bahaya saja. Ternyata kakak
memang bagaikan permata di keluargaku. Tidak hanya untuk keluarga kecilku,
tetapi juga unutk seluruh kelurga besar Ibu. Cucu pertama, begitu berharga. Ah alangkah
indahnya jika aku juga bisa merasakannya.
Sekarang umurku sudah tidak
anak anak lagi. Sudah beranjak dewasa. Ya, bisa dibilang begitulah, umur 21
tahun itu tidak anak anak lagikan. Pada umur seginipun aku masih merasa kalau
Ibu tetap sangat menyayangi kakak. Sangat menyayangi kakak. Hei hei dari tadi
hanya Ibu yang sayang kakak terus yang aku ceritakan, bagaimana dengan Ayah?
Ayah ternyata lebih menyayangi aku dari pada kakak. Hahaha yeah, akhirnya aku
punya seseorang yang jauh lebih sayang aku dari pada kakak. Heuh tapi apa
gunanya, Ayah tidak menunjukan kasih sayang seperti Ibu menunjukan kasih
sayangnya pada kakak! Ayah tidak memperhatikanku ketika aku sakit, apalagi Ibu.
Marah marah terus, yang ada sakitku hanya akan semakin bertambah. Ayah tidak
memberiku uang jajan seperti yang Ibu lakukan. Ayah tidak mau membelikan semua
apa yang aku inginkan, bahkan Ibu jauh lebih baik melakukannya dari pada Ayah.
Lihatkan, percuma saja Ayah lebih menyayangiku dari pada kakak. Aku tetap kalah
jauh dari pada kakak.
Kakak kakak kakak, kenapa engkau begitu jauh dari
jangkauanku. Engkau begitu tinggi di atas sana. Aku begitu rendah di bawah
sini. Terdampar, terdampar sangat jauh dalam. Bagaimana aku bisa mencapaimu
jika engkaupun tidak menjulurkan tanganmu. Aku merasa engkau terlalu angkuh
untuk menjulurkan tanganmu padaku. Membiarkan aku berada didekatmu. Hanya untuk
mendapatkan perhatianmu, apa yang harus aku lakukan? Aku berusaha tampil sebaik
mungkin, untuk bisa sejajar dengan penampilan fisikmu yang begitu berbeda
denganku. Aku berusaha untuk menjadi sosok yang sama membanggakannya dengan
sosokmu. Aku berusaha, selalu berusaha—sepertinya begitu. Jika dikeluarga aku
tidak menjadi permata, buatlah aku menjadi permata bagimu, kak. Kakakku, kakak
yang aku benci sekaligus yang paling aku sayang.